Jakarta – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo langsung mencabut Surat Telegram (ST) tentang ‘larangan peliputan pada tindakan arogansi aparat’ usai banyaknya multitafsir yang beredar di masyarakat. Komisioner Kompolnas Poengky Indarti mengapresiasi langkah Sigit yang langsung mencabut ST itu serta meminta maaf ke publik.
“Kami sangat mengapresiasi Kapolri yang cepat mengoreksi, segera mencabut STR dan meminta maaf kepada publik,” ujar Poengky melalui keterangan tertulis, Rabu (7/4/2021).
Awalnya, Poengky mengaku kaget dengan terbitnya ST itu. Kompolnas pun langsung segera melakukan klarifikasi kepada Polri.
“Kami terus terang kaget ketika membaca berita di media bahwa ada STR Kapolri yang melarang media memberitakan arogansi dan kekerasan polisi. Kami segera melakukan klarifikasi kepada pimpinan Polri terkait kebenaran berita yang beredar dan meminta salinan STR yang dimaksud,” jelasnya.
Setelah menerima salinan ST, lanjut Poengky, Kompolnas mencatat bahwa ST yang bersifat internal itu berdampak juga pada eksternal, khususnya jurnalis. Meski begitu, Poengky menyebut pihaknya memahami ST itu diciptakan untuk Humas Polri agar lebih berhati-hati.
“Kami memahami dan bisa menangkap maksud STR adalah pedoman bagi internal Polri khususnya Humas untuk mengedepankan prinsip kehati-hatian dan perlindungan. Ada poin-poin yang dimaksudkan untuk menjaga prinsip presumption of innocent, melindungi korban kasus kekerasan seksual, melindungi anak yang menjadi pelaku kejahatan, serta ada pula untuk melindungi materi penyidikan agar tidak terganggu dengan potensi trial by the press,” papar Poengky.
Akan tetapi, di sisi lain, ada hal fatal dan menjadi pro-kontra karena multitafsir, yakni poin 1 tentang larangan meliput tindakan kekerasan dan arogansi polisi. Adanya larangan kepada jurnalis untuk meliput tindakan kekerasan atau arogansi anggota Polri itu dianggap membatasi kebebasan pers serta transparansi yang selama ini digaungkan Polri.
“Kalau sifatnya koreksi untuk mengkritisi arogansi anggota Polri, tentu saja pers berhak meliput. Kasus penyiksaan tersangka Herman di Balikpapan atau kasus penyiksaan terhadap Sarpan di Medan misalnya. Kami justru tahu dari media, karena media juga berfungsi mengontrol dan mengawasi. Media adalah pilar demokrasi,” katanya.
“Tetapi kalau aksi polisi menggunakan arogansi dan kekerasan berlebihan dalam menangkap pelaku atau tersangka dibuat acara khusus untuk glorifikasi kekerasan tersebut dengan anggapan polisi kelihatan gagah atau berwibawa, misalnya ada tayangan program di stasiun TV yang menunjukkan hal tersebut, maka hal itu yang kami setuju untuk dilarang. Karena menyebarluaskan kekerasan polisi yang terkadang berlebihan (excessive use of force), sehingga membuat image polisi jadi buruk,” sambung Poengky.
Poengky berharap Polri lebih berhati-hati dalam membuat suatu kebijakan. Dengan demikian, kesalahan serupa tidak terjadi lagi ke depannya.
“Intinya justru harus melarang polisi melakukan kekerasan berlebihan, bukan melarang jurnalis meliput. Kami berharap di kemudian hari jika ada kebijakan yang dibuat ternyata bersentuhan dengan institusi lain, mohon institusi tersebut dilibatkan agar tidak terjadi kesalahan yang menimbulkan pro kontra. Misalnya dalam pembuatan kebijakan berkaitan dengan kerja-kerja jurnalis, maka mohon agar melibatkan Dewan Pers. Kami berharap kejadian seperti ini tidak terulang lagi. Sebelum STR dicabut, kami telah meminta STR tersebut direvisi, khususnya poin 1 yang bermasalah agar dicabut,” tutupnya.
Diketahui, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta maaf atas terbitnya Surat Telegram tentang ‘larangan peliputan pada tindakan arogansi aparat’ yang kini telah dicabut. Sigit mengakui ada kesalahan penulisan dalam Surat Telegram tersebut sehingga yang muncul ke publik berbeda dengan maksud sebenarnya.
Surat Telegram Bernomor ST/750/IV/HUM/345/2021 itu ditandatangani oleh Kadiv Humas Polri, Irjen Argo Yuwono atas nama Kapolri. Surat itu bertanggal 5 April 2021 dan dicabut kurang lebih 24 jam kemudian.
Sigit mengatakan arahan dia yang sebenarnya adalah ingin membuat Polri bisa tampil humanis. Namun bukan berarti Polri melakukan tindakan pelarangan kepada media massa.
“Arahan saya adalah masyarakat ingin Polri bisa tampil tegas, namun humanis,” ujar Sigit kepada detikcom, Selasa (6/4).
(jbr/jbr)