Partisipasi warga dalam memberikan masukan, keluhan, dan pengaduan terhadap layanan publik tidak mendapatkan tanggapan. Padahal, Pasal 18 ayat (c) UU 25/2009 menyatakan masyarakat berhak mendapatkan tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan.
Berdasarkan data Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan, penanganan pelayanan publik di berbagai kementerian/lembaga terkait masih belum optimal. Selama satu tahun terakhir, LaporCovid-19 menerima banyak pengaduan warga.
Warga mengeluhkan sulitnya mengakses pemeriksaan RT-PCR, vaksin dan obat-obatan sulit didapat, pelanggaran protokol kesehatan di tempat publik maupun saat pembelajaran tatap muka (PTM), hingga tidak mendapatkan bantuan sosial.
Ironisnya, banyak kanal pengaduan pemerintah malah tidak dikelola dengan baik. Imbasnya, pemenuhan hak warga untuk mendapatkan informasi akurat dan pelayanan publik yang baik belum berjalan optimal. Apalagi, masih minimnya keterlibatan dan komitmen pimpinan pelayanan dalam hal menetapkan sumber anggaran dan pelatihan staf pelayanan yang tepat.
Selama 2021, Koalisi mencatat sedikitnya sembilan pengaduan masyarakat berakhir dengan serangan balik dan ancaman, salah satunya intimidasi dan perundungan yang dialami warga setelah melaporkan ketentuan PTM di Kabupaten Bandung.
“Laporan warga justru dianggap sebagai penghambat kinerja instansi, kritik tidak konstruktif, dan seringkali dipandang mencemarkan nama baik,” ujar perwakilan koalisi, Irma Hidayana dalam keterangan tertulis, Rabu (8/12).
Perwakilan koalisi dari Indonesian Corruption Watch (ICW), Isnur menambahkan, pihaknya bahkan diseret ke ranah hukum usai mengkritisi pemerintah. Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko melayangkan somasi kepada ICW terkait temuan dugaan konflik kepentingan melalui kedekatannya dengan PT Harsen laboratories, produsen obat Ivermectin yang diklaim sebagai obat Covid-19.
“Ancaman-ancaman ini menunjukkan bahwa Negara tidak mampu melindungi dan memberikan ruang aman bagi warga yang mendesakkan perbaikan pada sektor layanan publik” tutur Isnur.