Jakarta — Sejumlah pemuda dan aktivis lingkungan di Surabaya, melakukan aksi ‘memakan’ sampah plastik, di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Kamis (22/4). Aksi dilakukan untuk memperingati Hari Bumi 2021.
Aksi dimotori Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), Community Aquatic Environmental (CAER), Komunitas Tolak Plastik (KTP) dan River Warrior Indonesia.
“Aksi kami adalah peringatan hari bumi dan aksi lanjutan kami, yaitu aksi setop plastik,” kata seorang pedemo, Thara Bening Sandrine, yang juga Kapten River Warrior.
Mahasiswa Perikanan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini mengatakan aksi makan plastik merupakan bentuk keprihatinan pihaknya atas pencemaran mikroplastik di sungai dan perairan Surabaya.
“Jadi ini aksi, kami lihat banyak temuan seperti di sungai Brantas dan sungai di Surabaya dan perairan Madura sudah terkontaminasi oleh mikropalstik,” ujarnya.
Mikroplastik, kata Thara, merupakan serpihan plastik berukuran kurang dari 5 millimeter. Mikroplastik sangat berbahaya sebab kandungannya bisa mengikat senyawa toksin lain dan buntutnya dapat mengakibatkan penyakit reproduksi bagi manusia.
“Jika masuk ke dalam tubuh kita maka tubuh kita bisa berakumulasi dari senyawa toksin tadi. Salah satu penyakitnya, yang saya ketahui adalah penyakit reproduksi,” katanya,
Peneliti Ecoton, Andreas Agus Kristanto Nugroho mengatakan pencemaran mikroplastik itu dibuktikan dalam temuan baru pihaknya dalam populasi ikan Sungai Tambak Wedi, Surabaya.
“Setelah dilakukan pengamatan mikroskop binokuler dengan pembesaran 40 hingga 100 kali ditemukan bahwa semua 116 sample ikan di Sungai Tambak Wedi 100 persen mengandung mikroplastik,” ujar Andreas.
Andreas menjelaskan terdapat enam jenis mikroplastik di lambung ikan yang hidup di Sungai Tambak Wedi, yakni jenis fiber (benang plastik/serat), film, filamen, fragmen, pellet dan granula.
Jenis yang paling banyak ditemukan adalah fiber sebesar 82 persen. Potensi sumber polusi adalah limbah laundry atau cucian pakaian rumah/textil rumah tangga.
Lalu jenis film atau selaput tipis sebanyak 7 persen yang berasal dari serpihan tas kresek. Kemudian 7 persen jenis fragmen, berasal dari cuilan plastik keras seperti botol air minum sekali pakai atau packaging personal care.
“Fiber 82,55 persen, film 7,58 persen Fragmen 7,01 persen filament 0,86 persen, pellet 1 persen dan granula 1 persen,” ujarnya.
Tak hanya di Tambak Wedi, pencemaran mikroplastik juga ditemukan di Bengawan Solo, Kali Porong, Kali Surabaya, dan Kali Brantas. Bahkan biota yang menjadi bahan baku seafood pesisir Gresik, Surabaya dan Sidoarjo seperti kupang, kerang, teripang dan ikan juga positif mengandung mikroplastik.
Berdasarkan penelitian, sampah plastik itu didominasi berasal dari limbah domestik atau rumah tangga.
Andreas mengajak masyarakat untuk ‘puasa’ plastik sekali pakai, seperti tas kresek, sedotan, sachet, botol air kemasan dan styrofoam. Dan beralih ke produk yang bisa digunakan berulang kali.
Ia juga meminta Pemerintah Provinsi Jawa Timur segera membuat perda larangan plastik sekali pakai. Kemudian membangun Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, dan Recycle (TPS 3R) di setiap desa, hingga mendesak produsen untuk bertanggung jawab mengelola sampah residu jenis sachet.
“Mikroplastik jadi ancaman baru di perairan kita karena ya kalau kita bicara lingkungan, kita dicubit sekarang sakitnya nanti 10-20 tahun lagi itu baru terasa. Saya tidak mau mewariskan sesuatu yang rusak ke anak cucu saya,” ujarnya.(frd/fra)
sumber : CNN Indonesia